BAB I
PENDAHULUAN
Suatu fakta yang lazim didapati dalam kehidupan duniawi yaitu bahwa masalah pemenuhan kebutuhan material sering menjadi faktor yang dominan dalam kehidupan manusia yang bahkan kadang-kadang menempati prioritas utama dalam kehidupan. Hampir dapat dipastikan bahwa pemilikan yang menonjol terhadap kekayaan material, di samping faktor fungsi, kharisma, keturunan, selalu membawa pemiliknya kepada penerimaan status sosial tertentu. Dengan demikian, tidak mengherankan jika sejarah kehidupan manusia selalu diwarnai oleh persaingan yang ketat dalam lingkup persoalan ini. Setiap manusia berjuang untuk mempertahankan hidup dan juga untuk mendapatkan kekayaan material. Manusia selalu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan materialnya, bahkan kalau bisa lebih dari sekedar cukup. Kecenderungan untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan material adalah “bawaan naluriah” dan bagian dari sisi emosi manusia. Dalam hubungan ini, Max Weber memperlihatkan suatu sikap tentang perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dengan konsep “semangat kapitalisme”, kata lain untuk menunjukkan manusia sebagai “homo economicus”. Selain sebagai “homo economicus”, pada hakikatnya manusia juga disebut sebagai homo religius. Penyebutan manusia sebagai hewan berpikir, atau hewan yang memenuhi ekonominya serta hewan yang beragama pada akhirnya dapat dilekatkan dengan pola dan karakter tiap-tiap manusia. Manusia dengan segala petensi yang dimilikinya, merupakan subjek dari maju mundurnya sebuah peradaban. Di samping manusia menjadi subjek, ia bahkan menjadi pemilik sah dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang. Sebagai homo economicus, manusia berusaha memenuhi kebutuhan ekonomi, entah makanan atau harta untuk dirinya sendiri, keturunannya atau untuk orang lain.
Dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dan membangun peradaban itu, manusia Indonesia dinilai memiliki daya saing Indonesia yang lemah dibanding negara-negara lain. Berdasarkan acuan sembilan pilar yakni 1) institusi publik baik dari pemerintah maupun swasta, 2) infrastruktur, 3) ekonomi makro, 4) kondisi pendidikan dan kesehatan.5) pendidikan tinggi, 6) efisiensi pasar, 7) penguasaan teknologi, jaringan bisnis, dan 9) inovasi, telah disusun daya saing bangsa oleh Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index atau GCI) tahun 2006-2007. Dalam laporan itu, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 125 negara. Ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada pada tingkat menengah. Di antara lima negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura (peringkat ke-5), Malaysia (ke-26) dan Thailand (ke-35). Namun peringkat Indonesia masih lebih baik dibanding dengan Filipina (ke-71).
Perilaku ekonomi termasuk di dalamnya etos kerja dan daya saing, dinyatakan berkaitan dengan ajaran agama tertentu. Dalam tesisnya tentang “Etika Protestan” (Protestant Ethic) dan hubungannya dengan “semangat kapitalisme”, Max Weber mengatakan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, yakni keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada pranata-pranata yang membentuk masyarakat. Dengan suatu fakta statistik, ia menjelaskan fenomena di dunia Eropa modern. Ia menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin perusahaan dan para pemilik modal, atau mereka yang tergolong sebagai buruh terampil (ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan-karyawan perusahaan modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga, kebanyakan memeluk agama Protestan. Dengan demikian, perkembangan di bidang ekonomi, terutama dengan munculnya semangat kapitalisme modem di dunia Barat, telah dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Menurut Weber, kapitalisme modern timbul sebagai hasil kumulatif kekuatan sosial, politik dan ekonomi, serta agama yang berakar jauh di dalam sejarah Eropa. Akan tetapi sejak masa reformasi sampai kira-kira abad ke- 18, pengaruh dari agama sangat menentukan. Weber telah menempatkan agama - khususnya agama Protestan -sebagai aktor determinan. Agama merupakan faktor yang berdiri sendiri dan berpengaruh. Inilah pendapatnya yang membedakan Weber dan Marx yang menempatkan agama pada posisi nomor dua dan dependen. Dari paparan di atas, tampak alur tesis Weber tentang agama Protestan. Weber berkeinginan keras untuk mempertanyakan, atau mungkin lebih dari itu, mencari hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku. Weber setidak-tidaknya telah mengarahkan pada suatu model pemikiran atau pendekatan, yakni faktor struktural dan pola-pola pemikiran (ide dan nilai) harus dianalisis secara bersamaan dengan cermat. Antara perilaku perilaku agamis dan perilaku-perilaku ekonomi harus dipahami dengan sebaik-baiknya.
Islam sebagai agama dan ideologi memang mendorong pada umatnya untuk bekerja keras, tidak melupakan kerja setelah beribadah, dan, hendaknya kamu takut pada generasi setelah yang ditinggal dalam kesusahan iman dan ekonomi. Hadis Nabi juga menyatakan pentingnya generasi (umat) yang kuat ketimbang yang lemah dan tidak boleh menggantungkan diri pada orang lain (HR Turmudzi), serta beberapa ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk menjalankan kegiatan atau aktivitas ekonominya secara baik, profesional, sistematis, dan kontinyuitas. Misalnya, ajaran Islam yang telah menempatkan kegiatan usaha perdagangan sebagai salah satu bidang penghidupan yang sangat dianjurkan, dengan menggunakan cara-cara yang halal. Islam juga menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang sentralnya guna mengejar tujuan keduniawian, namun serta merta juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis besar telah disuratkan dan disiratkan dalam al-Quran dan al-Hadis. Dari norma tersebut tampak bagian dan rangkaian sistem nilai yang mewajibkan manusia untuk bekerja keras. Mencermati usaha pembangunan nasional Indonesia, tampak dengan jelas suatu cara dalam menilai peranan agama di dalamnya. Bahwa hakikat pembangunan itu bukan semata-mata bersifat fisik, melainkan dinamika dan gerak majunya suatu sistem sosial dalam keseluruhan. Dalam konsepsi pembangunan semacam ini manusia dan motivasinya dalam bertindak di masyarakat dan dengan sendirinya juga agama sebagai motivasi sosial, mengambil suatu tempat yang sangat penting. Agama tidak cukup dilihat sebagai fenomena historis semata-mata, tidak cukup potensi dinamika sosialnya saja yang dilihat dari luar, karena itu perlu dilihat dan diselami dari dalam (ajarannya). Besarnya peranan agama dalam pembangunan, memerlukan penelitian kehidupan beragama di Indonesia secara lebih seksama, mengingat kehidupan beragama merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Keberhasilan kerja seseorang di antaranya ditentukan oleh adanya etos kerja yang tinggi dan berakar dalam dirinya. Dengan cara memahami dan meyakini ajaran-ajaran agama yang berhubungan dengan penilaian ajaran agama tersebut terhadap kerja, akan menumbuhkan suatu etos kerja pada diri seseorang. Pada perkembangan selanjutnya etos kerja ini akan menjadi pendorong keberhasilan kerjanya. Persoalannya bagaimana konsep etos kerja dalam Islam yang digali dari al-Quran dan al-Hadis. Berdasar latar belakang tersebut di atas, penulis merumuskan pokok persoalan yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana konsep etos kerja Islami? Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan konsep etos kerja Islami secara komprehensif yang digali dari nash al-Quran dan al-Hadis yang didukung penjelasan-penjelasan dengan menggunakan ilmu bantu yang relevan dengan tema etos kerja. Oleh karena itu data dan informasi yang digali dari berbagai sumber di perpustakaan kemudian dianalisis dengan metode tematik (tafsir maudu‘i) yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menghimpun ayat-ayat al-Al-Quran yang relevan dengan tema.
b. Menyusun secara sistematis menurut kerangka pembahasan yang telah disusun.
c. Memberikan uraian dan penjelasan dengan menggunakan ilmu bantu yang relevan dengan tema yang dibahas, dengan memahami sebab turunnya dan munasabat ayat selama tidak mempengaruhi pengertian yang ditonjolkan, dibantu dengan pejelasan dari al-Hadis.
d. Melahirkan konsep yang utuh dari al-Al-Quran tentang etos kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Makna dan Hakekat Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak, karakter. Toto Tasmara memaknai ethos dengan sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. John M. Echols dan Hasan Shadily memaknai ethos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, atau kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok orang atau manusia. Secara terminologis, ethos digunakan dalam tiga pengertian, yaitu: (1) suatu aturan umum atau cara hidup, (2) suatu tatanan dari perilaku, (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan seperanngkat aturan tingkah laku.
Dari kata ethos, terbentuklah kata ethic yaitu pedoman, moral dan perilaku, atau dikenal pula etiket yaitu cara bersopan santun. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Menurut Verkyuil, perkataan etika berasal dari perkataan ethos sehingga muncul kata-kata etika. Perkataan ethos dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan. Sedangkan menurut James J. Spillane SJ, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentuka kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.
Menurut Hamzah Ya’kub, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuiatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Menurut Herman Soewardi, etika dapat dijelaskan dengan membedakan dengan tiga arti, yaitu (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika dalam tulisan ini lebih menekankan pada makna kedua.
Pembicaraan tentang etika selalu berkaitan dengan agama, karena etika merupakan salah satu sumber etika yang diakui manusia secara universal. Tidak ada agama yang menempatkan etika pada posisi marginal yang tidak mengikat. Etika selalu menjadi inti ajaran yang harus diikuti dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kerja adalah segala kegiatan ekonomis yang dimaksudkan untuk memperoleh upah, baik berupa kerja fisik material atau kerja intelektual. Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagi bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT. Sedangkan kerja keras berarti bekerja dengan segala penuh kesungguhan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Menurut Toto Tasmara, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai kerja karena di dalam kerja terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu:
1. Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga timbullah rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas.
2. Apa yang dilakukan tersebut dikerjakan karena kesengajaan, sesuatu yang direncanakan.
Bekerja sebagai aktivitas dinamis mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan oleh seorang muslim harus penuh dengan tantangan, tidak monoton, dan selalu berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mencarui terobosan-terobosan baru dan tidak pernah puas dalam berbuat kebaikan.
Istilah yang paling dekat pengertiannya dengan kerja keras adalah jihad, yang artinya berjuang di jalan Allah. Asal katanya jahada artinya bersungguh-sungguh. Sehingga jihad dalam kaitannya dengan kerja berarti: usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil optimal.
Islam memandang bekerja secara halal juga merupakan jihad, sebagaimana hadits Rasulullah yang artinya: Mencari yang halal bagian dari jihad (HR Turmuzi). Al-Qur’an memandang bekerja keras adalah sangat penting. Hal ini di antaranya terdapat dalam An-Nisa’: 95. Dan Al Qur’an memandang orang yang bekerja keras berarti sedang meniti jalan untuk menemui Tuhannya (Al Insyiqaq: 6).
Apabila etos ini dihubungkan dengan kerja, maknanya menjadi lebih khas. Etos kerja adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata dengan arti yang menyatu. Makna khas itu adalah bahwa eos kerja merupakan concern pragmatis. Ia membentuk perilaku individual dan social masyarakat. Dapat pula bermkana semangat kerja yang menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok. Selain itu juga sering diartikan sebagai setiap kegiatan manusia yang dengan sengaja diarahkan pada suatu tujun tertentu. Tujuan itu adalah kekayaan manusia itu sendiri, entah itunjasmani atau rohani atau pertahan terhadap kekayaan yang telah diperoleh. Dengan demikian etos kerja merupakan sikap atau pandangan manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi nilai-nilai yang diyakininya. Nilai-nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat, kebudayaan, serta peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam suatu negara.
Dengan kata lain, etos kerja dapat juga berupa gerakan penilaian dan mempunyai gerak evaluatif pada tiap-tiap individu dan kelompok. Dengan evaluasi itu akan tercipta gerak grafik mennajak dan meningkat dalam waktu-waktu berikutnya. Ia juga bermakna cermin atau bahan pertimbangan yang dapat dijadikan pegangan bagi seseorang untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil kemudian. Ringkasnya, etos kerja adalah double standar of life yaitu sebagai daya dorong di satu sisi, dan daya nilai pada setiap indiividu atau kelompok pada sisi yang lain. Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti sikap atau pandangan atau semangat manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang agama yang dianutnya.
2. Konsep Etos Kerja Islami
Islam dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya merupakan agama yang memiliki ajaran yang bersifat universal, abadi, dan sesuai untuk segala zaman dan tempat. Islam juga adalah agama yang mengatur dan memberikan petunjuk dalam tatanan hidup manusia dengan sempurna, tidak terkecuali masalah-masalah bekerja yang erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Ekonomi dalam ajaran Islam bagaimanapun pentingnya tidak lebih hanya merupakan satu bagian dari keseluruhan aspek kehidupan manusia, sekalipun memang diakui sebagai bagian pokok dan amat berpengaruh. Namun demikian, ekonomi bukan satu-satunya unsur yang ada dalam kehidupan manusia di dunia. Satu hal yang fundamental dalam ajaran Islam yang berbeda dengan ajaran lain adalah bahwa kegiatan ekonomi seperti juga kegiatan lainnya hanya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat dan eksistensi manusia akan memiliki makna jika keseluruhan aktivitas hidupnya didedikasikan kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT yaitu:
من عمل صالحا من ذكر اوانثى وهو مؤمن فلنحيينه حيوة طيبة ولنجزينهم اجرهم باحسن ماكانوا يعملون (النحل : 97)
Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS An-Nahl: 97).
Dalam ayat-ayat al-Quran terdapat ayat-ayat yang mengemukakan tentang nilai-nilai dan etika yang merupakan pedoman etos kerja dalam Islam. Di antara kandungan ayat-ayat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
NILAI DAN ETIKA | AYAT & SURAT | ||
A. NILAI-NILAI PRIBADI (AKHLAQ SYAKHSYIYYAH) | |||
1. | Jalan yang lurus | 1:6, 10:105, 11:112, 2:103, 33:60, 61:10-11 | |
2 . | Beriman, bertaqwa dan tawakkal | 3:120, 3:125, 3:130, 5:2, 64:16, 20:132, 20:132, 20:135, 23:3, 58:10 | |
3. | Bercakap benar | 2:10, 3:17, 45:7, 58:14, 70:33, 92:9, 96:16 | |
4. | Tiada dengki dan khianat | 2:10, 3:19, 3:161, 8:27, 16:92, 16:94, 59:10 | |
5. | Ikhlas | 2:264, 74:6 | |
6. | Sabar | 2:45, 2:153, 2:155-156, 90:17, 3:17, 3:120, 8:65-66, 20:114, 22:35 | |
7. | Selalu bersyukur | 2:172, 39:49, 57:23, 108:2 | |
8. | Hemat, cermat dan tidak boros | 17:26-27, 25:67 | |
9. | Murah hati atau tidak bakhil | 2:195, 2:268, 3:180, 25:67, 57:24, 59:9 | |
10. | Jujur pada diri sendiri dan orang lain | 2:9, 10:44, 10:54, 19:54 | |
11. | Pemaaf | 2:263, 3:134, 45:14, | |
12. | Yakin | 2:10, 68:10, 72:6, 102:5 | |
13. | Adil | 2:282, 4:58, 4:135, 5:8, 70:33, 6:152, 16:90 | |
14. | Tawadhu’ | 2:212, 2:263, 4:5, 2:264, 107:6, 4:142, 7:206, 8:47, 15:88 | |
15. | Amanah | 4:58, 23:8, 70:32 | |
16. | Berpengatahuan/berilmu | 4:162, 17:36, 61:3&5 | |
17. | Sederhana | 7:31, 17:110, 25:6, 55:8 | |
18. | Waspada dan berhati-hati | 7:205, 9:69, 11:112, 8:22, 103:2, 17:11, 19:39, 21:1, 21:3, 103:3 | |
19. | Terus meningkatkan kualitas diri | 2:160, 9:112, 2:186, 2:195, 17:29 | |
20. | Bersegera dalam melakukan kerja | 18:23 | |
21. | Menjaga kehormatan diri | 23:5, 33:35, 70:29 | |
22. | Tidak tamak dan loba | 89:20, 100:8 | |
23. | Bersih | 91:9-10 | |
B. MENGURUS HARTA | |||
1. | Sumber harta yang halal | 2:168, 2:172, 2:188, 3:75, 4:29, 4:161, 5:42, 5:42, 5:62, 9:34, 20:81 | |
2. | Membelanjakan harta untuk kebaikan, berzakat, dan bersedekah | 2:195, 3:17, 4:95, 58:13, 74:6, 9:34, 2:83, 2:110, 2:177, 98:5, 2:261, 2:267-272, 89:18, 3:92, 3:134, 64:16, 8:3 | |
3. | Wasiat harta | 2:180 | |
4. | Harta anak yatim | 4:2, 17:34 | |
5. | Berusaha mencari rezeki | 4:32, 17:29, 28:77, 29:62, 30:23 | |
6. | Harta merupakan perhiasan hidup, tidak boleh menjadi tujuan | 18:24, 18:32-42, 64:15, 111:2, 29:64, 36:9, 57:20 | |
7. | Tidak menggunakan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat | 31:6, 104:1-4 | |
C. MENJALANKAN PERNIAGAAN | |||
1. | Fokus | 2:45, 73:6 | |
2. | Tidak memberi suap | 2:188 | |
3. | Tidak melakukan riba | 2:275-276, 3:130, 4:161 | |
4. | Tepat dalam menimbang dan menakar | 6:152, 17:35, 26:181-182, 55:9, 83:1-3 | |
5. | Menuliskan transaksi, terutama transaksi hutang | 2:282 | |
6. | Memenuhi janji | 2:83, 2:177, 3:76-77, 23:8, 5:1, 16:91-94 | |
7. | Tidak ambil keuntungan berlipatganda | 3:130 | |
8. | Tidak memfitnah | 8:73, 33:60 | |
9. | Ada saksi dalam perjanjian | 2:282-283 | |
10. | Mampu membuat skala prioritas | 8:7, 62:9-11 | |
11. | Melayani customer dengan baik | 12:59 | |
12. | Memanaj waktu | 10:67, 17:12, 27:86, 30:23 | |
13. | Cermat dalam buat keputusan | 49:6 | |
C. INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT | |||
1. | Sikap toleran terhadap penghutang | 2:280 | |
2. | Hormat menghormati | 4:86, 17: 28, 24:28, 49:11, 58:11 | |
3. | Jangan dendam | 5:2, 5:8 | |
4. | Tidak bersumpah palsu | 5:44, 16:95 | |
5. | Saling membantu | 8:73, 61:4, 68:25-29 | |
6. | Berkata baik | 17:53, 31:18, 93:10 | |
7. | Bermusyawarah | 42:38 | |
8. | Tidak merugikan orang lain | 26:183 | |
9. | Tidak berburuk sangka | 49:12 | |
10. | Menyantuni anak yatim | 89:17, 93:9, 107:2 | |
11. | Saling menasehati | 90:17 | |
Sumber: Wan Sabri Wan Hussin (2003:5-87) dengan berbagai modifikasi dari penulis
Berdasarkan paparan tabel tersebut di atas, etos kerja dalam Islam dapat diuraikan secara ringkasnya sebagai berikut:
Dalam bekerja, seorang individu akan dihadapkan pada tiga tanggung jawab, yaitu, tanggung jawab terhadap Tuhannya (Allah SWT), tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan tanggung jawab terhadap orang lain. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab terhadap Allah, dapat diperincikan sebagai berikut:
1. Iman sebagai landasan bekerja
Bekerja adalah manifestasi keimanan. Dengan kata lain, poros dari kerja adalah tauhid. Hal ini didorong oleh firman Allah:
قل كل يعمل على شا كلته فربكم اعلم بمن هو اهدى سبيلا
Dalam ayat ini terkandung perintah (amar) yang berarti bahwa hal itu hukumnya wajib dilaksanakan. Ini artinya siapa pun mereka yang secara pasif berdiam diri, tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut sedang menggali kubur kanistaan bagi dirinya sendiri. Iman kepada Allah mendasari setiap aktivitas kerja seseorang.
Mengingat Allah melalui shalat, dengan menghentikan kegiatan bekerja bahkan di tengah-tengah kesibukan kita seperti diisyaratkan oleh ayat tersebut, mengandung rahasia tertentu. Salah satu manfaatnya adalah menenangkan pikiran dan memberi kesempatan kepada seseorang untuk mampu mengendalikan diri, dari mabuk kerja (workaholic) yang mungkin dialami seseorang. Bahkan dengan ketenangan dan perenungan nilai-nilai yang luhur bisa terjadi proses penjernihan pikiran, kreativitas dan gagasan inovatif.
Dalam tekanan pekerjaan sehari-hari, pikiran seseorang seringkali terhanyut dan terdesak untuk menyelesaikan berbagai tugas yang datang silih berganti, dan pada saat bersamaan memikirkan langkah-langkah lain yang juga harus segera diatasi satu persatu. Hal ini membuat seseorang tampak bodoh dan serba salah. Ia tampak panik dan tertekan dengan berbagai tuntutan pekerjaan.
Pada saat-saat semacam itulah seseorang sangat membutuhkan relaksasi, mengistirahatkan pikirannya sejenak untuk mencerdaskan kembali pikirannya dan memulihkan kecerdasannya untuk mendapatkan prestasi puncak. Relaksasi tersebut dilakukan dengan melaksanakan shalat sebagai sarana untuk mengingat Allah dan mendengar lagi suara-suara hati yang acapkali memberikan bisikan-bisikan ilahiyah sehingga kita akan menjadi bergairah dan peka kembali.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti email, fax, telepon, seluler, surat, telex, dan sebagainya membuat orang selalu merasa terdesak dan urgent. Kadang pada saat yang bersamaan ketika seseorang sedang sibuk bekerja, tiba-tiba telepon berdering, dan sekaligus fax masuk, pada saat itu juga ia harus mengalihkan pikirannya. Setelah selesai ia harus mengembalikan konsentrasinya pada pekerjaannya semula. Ini akan seperti ombak lautan yang terus menerus menghantamdirinya secara berkesinambungan dan tiada henti. Jika hal ini terus berkelanjutan terjadi tanpa pemecahan, maka akibatnya ia akan mengalami depresi, dan ia akan tampak bodoh bahkan secara jangka panjang kecerdasan otaknya akan menurun, bukan hanya kecerdasan emosinya saja yang terganggu. Kondisi stress tersebut ditambah lagi dengan masalah-masalah pribadinya di rumah seperti anak yang sedang saki, uang belanja yang sudah hampir habis padahal baru pertengahan bulan, tagihan telepon dan listrik yang belum terbayar, dan ditambah teguran atasan karena ia berbuat kesalah di kantor. Ini semua akan menjadikan semakin stressnya orang tersebut.
Padahal menurut pendapat para ahli yang dikutip Ary Ginanjar, “Dalam hubungan anatomi antara otak dan tubuh yang baru ditemukan, yang menghubungkan keadaan mental kita dengan kesehatan fisik, pusat-pusat emosi memainkan peran yang penting, terutama melalui jaringan penghubung yang sangat kompleks baik ke sistem kekebalan tubuh maupun sistem kardiovaskuler. Hubungan biologis ini menjelaskan mengapa perasaan-perasaan yang menekan, sedih, frustasi, marah, tegang, cemas berlebihan melipatgandakan resiko penyakit jantung sampai ke tingkat yang membahayakan selama ia mengidap perasaan-perasaan tersebut.
Ary mengutip dari Cooper dan A. Sawaf (1998: 31) bahwa saat kelelahan dan ketegangan otot meningkat, tidak sedikit manusia yang kemudian terjebak dalam suasana hati yang tidak menyenangkan, sehingga kehilangan semangat dan keuletan. Masalah kecil terasa menjadi hambatan besar, penundaan semenit serasa satu jam, komentar main-main terasa sebagai celaan yang menyakitkan hati. Reaksi-reaksi itu menyebabkan hilangnya kewaspadaan. Hilangnya kewaspadaan, secara otomatis akan mempengaruhi kemampuan untuk memperhatikan apapun atau siapapun secara teliti dan sungguh-sungguh. Ini menyebabkan turunnya kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosi dan dapat mengganggu hubungan dengan orang lain walaupun orang tersebut tidak bermaksud demikian.
Itu semua membuktikan bahwa bekerja yang dilandasi keimanan yang diimplementasikan dengan mengamalkan tuntutan keimanan, misalnya berupa shalat, dapat meningkatkan produktivitas dan optimalisasi kerja. Hal ini karena shalat akan berfungsi laksana wahana relaksasi yang menurut berbagai teori yang dikemukakan para pakar tersebut di atas, dapat mengembalikan vitalitas dan kecerdasan intelektual maupun emosional seseorang.
Motivasi kerja dan optimisme untuk mencari rezeki bisa pula timbul bila mengingat firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Mulk: 15 yang artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu maka berjalanlah di segala penjuru dan carilah sebagian rezekinya”.
Keimanan yang mendasari keyakinan bahwa Tuhan menciptakan bumi dan seisinya yang secara mudah diperuntukkan manusia, dan Tuhan telah menyiapkan di segala penjuru bumi itu rezeki bagi manusia yang mau berusaha dengan gigih untuk meraihnya, maka menjadikan manusia tidak mudah putus asa bila tidak berhasil dalam usahanya, karena yakin Tuhan masih menyediakan rezeki yang lain untuknya. Sebaliknya bila berhasil ia tidak mudah sombong karena keberhasilan itu bukan semata-mata disebabkan usahanya sendiri melainkan ada campur tangan Tuhan yang telah menyiapkan bumi untuk diri manusia.
Landasan keimanan juga menghindarkan manusia untuk mengeksploitasi terhadap sumber-sumber alam dengan cara yang melampaui batas. Sesungguhnya rezeki Allah itu melimpah tak terbatas, namun Allah juga menetapkan takaran dan ukuran, sehingga manusia tidak bisa seenaknya saja melakukan eksploitasi melampaui batas. Hal ini bisa terjadi karena sifat manusia yang loba dan cenderung melampaui batas. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Jika Allah melapangkan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, Padahal Allah mengatur apa yang dikehendakinya dengan ukuran-ukuran”. Oleh sebab itu, manusia harus bisa mengendalikan dirinya, antara lain dengan cara bersyukur yang berarti menyadari karunia Allah yang murah itu sehingga ia mampu bertindak rasional.
2. Senantiasa Bersyukur
Manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang diperolehnya, bersyukur karena terlepas dari mara bahaya dan dianugerahkan nikmat kehidupan. Manusia tidak boleh menyombongkan diri atas kelebihan-kelebihan yang telah diperolehnya, karena semua itu hanya titipan dari Allah yang diberikan kepadanya. Untuk mewujudkan rasa syukur itu, manusia diperintahkan untuk menunaikan shalat dan berkorban. Dari perspektif psikologis, perasaan bersyukur akan memberi kepuasan pada diri sendiri, selanjutnya akan menghilangkan rasa resah jika memperoleh sesuatu yang dicita-citakan. Islam juga mengajarkan agar manusia melihat ke bawah yaitu mereka yang kurang bernasib baik supaya jiwa mereka tenang. Pengaruh kejiwaan terbesar yang muncul dari rasa bersyukur adalah ketenangan jiwa yang tidak bisa dibeli atau dinilai dengan uang.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada diri sendiri dapat diperincikankan sebagai berikut:
1. Bekerja sebagai kewajiban
Islam mewajibkan manusia untuk bekerja. Bekerja bukanlah bertujuan untuk mendapatkan uang semata sehingga mampu belanja apa saja atau memaksimalkan konsumsi, akan tetapi bekerja merupakan media untuk membuktikan bahwa manusia itu adalah khalifatullah yang patuh mengikuti perintah Allah SWT, sesuai dengan perjanjian manusia dengan Allah SWT di alam roh.
Dalam hadis disebutkan, yang artinya “Seseorang yang keluar mencari kayu bakar (lalu hasilnya dijual) untuk bersedekah dan menghindari ketergantungan kepada manusia, itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau pun ditolak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas (memberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (meminta).” (HR Muslim).
Khalifah Umar Ibn Khattab pernah mengusir orang yang beribadah di dalam masjid yang membebankan nafkah untuk diri dan keluarganya kepada adiknya. Kata Sayyidina Umar r.a., adik orang itu adalah lebih baik dari orang itu yang tidak bekerja. Orang itu diusir dari masjid agar bekerja dan menanggung nafkahnya dan keluarganya sendiri.
Kalau dilihat dari perspektif negara, bekerja adalah penting. Jika rakyat suatu negeri bekerja, maka berarti pengangguran berkurang. Jika pengangguran berkurang, maka masalah ekonomi dan sosial negara pun berkurang. Oleh karena itu, bekerja berfungsi mengurangi pengangguran. Berkurangnya pengangguran berkorelasi positif terhadap penghapusan kemiskinan dan meningkatkan kesetaraan ekonomi. Itu semua menjadi faktor penting dalam membangun negara. Dengan meningkatnya pekerjaan dan kurangnya pengangguran, pendapatan bruto negara akan meningkat. Dengan begitu, negara itu dapat dikatakan ada perkembangan dan pembangunan.
2. Bekerja harus halal dan baik
Dalam hadis disebutkan bahwa bekerja mencari rezeki yang halal hukumnya adalah wajib. Ini dimaksudkan agar manusia dengan berbagai unsurnya yaitu jasmani dan rohani dapat hidup secara sehat. Untuk sehat jasmani dan rohani, antara lain makanan harus thayyib dan halal. Thayyib artinya baik, bersih, dan tidak basi, masih valid, dan sebagainya. Ini syarat untuk sehat jasmani. Sementara halal, makanan yang halal adalah syarat untuk menjadi sehat rohani. Yang menjadi persoalan, karena besarnya KKN, terutama korupsi di Indonesia, maka di negara kita pasti sangat banyak makanan yang dibeli dari uang yang tidak halal.
3. Menempuh jalan yang lurus (Sirat al-Mustaqim)
Pada umumnya setiap manusia memiliki tujuan mulia yaitu menjadi manusia bermanfaat dan hidup secara sempurna serta berkecukupan. Banyak ayat al-Quran yang mendorong manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebenaran dengan senantiasa beramal baik menuju harapan dan cita-citanya. Dalam mewujudkan cita-cita, manusia harus tetap berpegang teguh pada jalan Allah yang merupakan jalan yang lurus. Allah berfirman yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Jalan lurus yang dimaksud adalah “Jalan yang telah diberi nikmat Allah ke atas mereka, dan bukan jalan yang dimurkai, juga bukan jalan orang-orang yang sesat”.
Untuk mendapatkan jalan yang lurus ini, al-Quran telah menjelaskan adanya tiga dasar yaitu: (1) mempercayai ajaran yang ghaib (rukun iman), (2) mengerjakan shalat dan (3) membelanjakan harta pada jalan kebajikan. Jalan yang lurus dalam kehidupan dan perdagangan akan mendorong seseorang untuk berfikir secara strategis dan mempunyai fokus yang konsisten. McClelland telah membuktikan bahwa pedagang yang suskes adalah pedagang yang mempunyai motivasi untuk mencapai tahap kesuksesan tertinggi (high need for achievement).
Orang yang berada pada jalan yang lurus juga ikhlas dalam beramal. Bahkan dapat dinyatakan bahwa ikhlas dalam beramal merupakan sebagian ciri orang yang berada pada jalan yang lurus. Ini tercermin dari firman Allah yang artinya, ”dan (aku telah diperintahkan): Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik”.
4. Sabar
Sabar merupakan sifat terpuji yang sangat sering disebut dalam al-Quran. Dalam menjalani kehidupannya, manusia tentu akan menghadapi berbagai macam peristiwa, baik peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Di antara peristiwa yang menyedihkan seperti kesempitan rezeki, kelaparan, bencana, dan lain-lain. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, manusia diminta bersabar. Jika manusia berdukacita menghadapi kesusahan-kesusahan, Allah memerintahkan mereka untuk menunaikan shalat, berdoa kepada Allah dan bersabar. Apabila ditimpa musibah, hendaknya mengucapkan dan menghayati firman Allah:
انا لله وانا اليه راجعون
”Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jua kami kembali”. (QS al-Baqarah: 156).
Tujuan mengucapkan dan menghayati kalimat tersebut (istirja’) adalah agar mendapatkan ketenangan.
5. Sederhana, tidak boros dan tidak membazir
Salah satu sifat buruk manusia yang diceritakan dalam al-Quran adalah sifat suka melampaui batas, lalu Allah berseru agar manusia sederhana pada pakaian dan makan minum, bersederhana suara sewaktu berdoa, sederhana dalam berbelanja.
6. Jujur
Sikap jujur merupakan sikap ditekankan Islam dalam semua aspek kehidupan. Penegasan al-Quran mengenai hal ini tercermin dalam firman Allah yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akadmu”. Pada ayat yang lain, Allah berfirman yang artinya, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggung-jawapan”. Ini semua menunjukkan bahwa seseorang yang berjanji, harus memenuhi janjinya. Pemenuhan janji ini merupakan karakterisrik sifat jujur. Orang-orang yang tidak jujur, oleh al-Quran disebut sebagai orang-orang yang mencoba untuk menganiaya dan mendhalimi diri sendiri.
7. Berkeyakinan dan optimis
Keyakinan akan menghilangkan perasaan ragu (syak) di dalam diri manusia dan syak adalah salah satu sifat orang munafik. Pendirian yang dimiliki seseorang haruslah dipegang teguh, jangan mudah terombang-ambing dan dipengaruhi oleh orang-orang yang justru berniat akan merusakkannya.
Untuk mendapatkan keyakinan dan sifat optimis ini, al-Quran telah memberikan guidance yaitu hendaknya seseorang itu mempunyai tujuan dan visi hidup yang jelas serta memiliki informasi yang memadai mengenai masa depan. Keyakinan yang kokoh dan sikap optimis dalam memandang masa depan akan mendorong seseorang untuk senantiasa berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah SWT.
8. Berupaya terus meningkatkan kualitas diri
9. Berilmu
Orang yang memiliki ilmu cenderung lebih bijaksana dalam semua tindak tanduknya serta sikap dan keputusannya. Ilmu diperoleh melalui disiplin dan kesungguhan belajar. Orang yang tidak berilmu atau kurang ilmu cenderung merasa minder atau rendah diri. Orang yang memiliki banyak ilmu, tidak disangsikan lagi akan dapat menghasilkan tafakur yang berbobot. Oleh karena itu, Islam meletakkan Ilmu diatas segala-galanya. Dalam Al Qur’an, Allah telah berfirman yang artinya, ” Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan Orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat “.
10. Bersifat waspada
Sikap waspada sangat penting dimiliki oleh siapa saja, tujuannya agar terhindar dari kecelakaan dan kerugian serta hal-hal negatif lainnya yang merugikan. Oleh karena itu, al-Quran menyeru agar jangan lalai, yaitu lalai dari beribadah kepada Allah SWT, lalai karena harta dan terlupa akan datangnya hari pembalasan.
11. Tidak menunda pekerjaan dan menjaga kehormatan
12. Bersih
Kebersihan adalah sifat-sifat yang dimiliki orang yang sukses. Kebersihan ini berkait dengan kebersihan luar (jasmani) maupun dalam (ruhani). Kebersihan adalah sebagian dari iman sehingga orang yang menyatakan beriman kepada Allah harus menyucikan jiwanya dari pikiran-pikiran jahat untuk (bisa) menerima kenikmatan Allah.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada orang lain dapat diperincikankan sebagai berikut:
1. Berzakat dan berinfaq
Kemauan untuk berzakat dan berinfaq merupakan wujud tidak kikirnya seseorang. Rezeki yang didapatkan dari hasil kerja, sebagiannya ada yang berfungsi sosial yang instrumennya antara lain zakat dan infaq.
Menafkahkan harta ditetapkan sebagai perbuatan baik, dan berpahala besar sebab sangat bermanfaat, baik bagi orang lain (kesalehan sosial) maupun bagi yang berinfak (kesalehan individu). Dengan infak itu kegiatan dakwah bisa dipertahankan, fakir miskin bisa terbantu, dan kehidupan rumah tangga bisa ditegakkan. Keutamaan kesalehan sosial itu ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW yang artinya: “Orang yang mengusahakan bantuan bagi janda dan orang miskin ibarat berjihad di jalan Allah dan ibarat orang yang sholat malam. Ia tidak merasa lelah dan ia juga ibarat orang berpuasa yang tak pernah berbuka” (Hadis Bukhori).
Zakat merupakan salah satu antara ajaran Islam yang memiliki dimensi ganda yaitu spiritual dan material. Ajaran ini berdimensi sosial, yang berarti bahwa pemenuhan kebutuhan material, bukan hanya berorientasi pada situasi individual tetapi juga sosial. Dalam kerangka inilah prinsip zakat menjadi alternatif dalam membangun kekuatan ekonomi umat sekaligus menciptakan kesejahteraan dan iklim solidaritas sesama manusia. Untuk mencapai maksud tersebut, diperlukan perhatian pada dua tingkat, yaitu: Pertama, pada tingkat pelaksanaan zakat, dan kedua, pada tingkat pendayagunaannya.
2. Bercakap benar
Bercakap benar adalah salah satu tanda orang beriman, sedangkan orang yang bersumpah dusta, disebut sebagai orang munafik. Orang munafik disebutkan oleh al-Quran sebagai orang yang bersalah dan orang yang mendustai kebenaran. Hal ini berlaku karena di dalam diri mereka ada penyakit syak dan hasad. Mereka akan menerima balasan berupa siksa sebab dosa yang mereka lakukan. Sesungguhnya orang-orang yang dikasihi Allah SWT ialah orang-orang yang benar perkataannya, dan yang memberi keterangan dengan adil dan benar sebagai saksi.
3. Menjauhi sifat hasad, tidak bakhil, amanah, adil, dan pemaaf
Dalam pelaksanaan transaksi, Islam juga telah memberikan panduan yang jelas agar menghasilkan transaksi yang halal dan tayyib, yaitu terpenuhinya syarat dan rukun akad, adanya saling rida dan menghindari larangan-larangan dalam bertransaksi. Islam telah menggariskan jenis-jenisnya yaitu:
(1) Membuat dan menjual barang-barang yang najis, seperti bangkai, babi, anjing, arak, tahi, kencing dan lain-lain. Barang-barang tersebut adalah haram li zatihi, karena Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT jika mengharamkan suatu barang, maka harganya pun haram juga”. (HR Ahmad dan Abu Daud).
(2) Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam (membawa kepada mafsadat dan maksiat) atau yang mendatangkan kelalaian hingga menyebabkan seseorang individu itu lupa untuk beribadah kepada Allah.
(3) Transaksi yang mengandung unsur riba,
(4) Transaksi yang mengandung unsur gharar,
(5) Transaksi yang mengandung unsur perjudian
(6) Bay‘ ma‘dum
(7) Melakukan penipuan dalam transaksi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis. Pada suatu hari Rasulullah SAW mengadakan inspeksi pasar. Rasulullah memasukkan tangannya kedalam tumpukkan gandum yang nampak baik, tetapi beliau terkejut karena ternyata yang di dalam tidak baik (basah). Rasulullah pun bersabda : “Juallah ini (yang baik) dalam satu bagian dan yang ini (yang tidak baik) dalam bagian yang lain. Siapa yang menipu kami bukanlah termasuk golongan kami”. (HR Muslim).
(8) Membeli di atas belian orang lain.
(9) Melakukan penimbunan (ihtikar), dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan yang telah dikemukakan, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam sebagai agama dan ideologi mendorong pada umatnya untuk bekerja keras, namun tidak melupakan beribadah. Islam sebagai agama yang syamil dan kamil juga memberikan guideline tentang etos kerja yang menjadikan kerja itu bukan hanya sebagai mencari rezeki akan tetapi lebih dari berdimensi transendental dan sekaligus identitas kemanusiaannya itu sendiri. Etos kerja dimaknai sebagai sikap atau pandangan manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi nilai-nilai yang diyakininya. Nilai-nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat, kebudayaan, serta peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam suatu negara.
Tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai kerja karena di dalam kerja terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu (1) aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga timbullah rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. (2) Apa yang dilakukan tersebut dikerjakan karena kesengajaan, sesuatu yang direncanakan. Oleh karenanya kerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagi bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya taat pada agamanya yang telah memberikan guidance prinsip-prinsip kerja Islami yaitu kerja harus ditegakkan diatas dasar taqwa, kerja menentukan nilai manusia, kerja ditentukan oleh kualitas bukan kuantitas, kerja harus dilakukan dengan ilmu, dan kerja melahirkan ilmu.
Pada sisi yang lain, sebagai seorang muslim, juga sudah seharusnya dalam bekerja selalu didasari oleh etos kerja Islami, yang berporoskan pada tiga tanggung jawab, yaitu, tanggung jawab terhadap Tuhannya (Allah SWT), tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan tanggung jawab terhadap orang lain. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab terhadap Allah, di antaranya adalah bahwa landasan bekerja adalah keimanan (kerja merupakan manifestasi keimanan) dan senantiasa bersyukur. Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada diri sendiri antara lain: bekerja merupakan kewajiban, bekerja harus halal dan thayyib, menempuh jalan yang lurus (sirat al-mustaqim), sabar, sederhana, tidak boros dan tidak membazir, jujur, berkeyakinan dan optimis, berupaya terus meningkatkan kualitas diri, berilmu, bersifat waspada, tidak menunda pekerjaan dan menjaga kehormatan, dan bersih.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada orang lain antara lain: berzakat dan berinfaq, Bercakap benar, Menjauhi sifat hasad, tidak bakhil, amanah, pemaaf, dan adil. Dalam pelaksanaan transaksi juga harus memenuhi standar pemenuhan transaksi yang halal dan tayyib, yaitu terpenuhinya syarat dan rukun akad, adanya saling rida dan menghindari larangan-larangan dalam bertransaksi sebagaimana tersebut di atas.
Baccarat: How to play with online blackjack - FABCasino
BalasHapusHow to play with online blackjack kadangpintar · Open the online casino. · Connect in a web browser. · If you 바카라 have a browser 메리트카지노총판 that supports